Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2021/PN Lbt | 1.MAHMUD REMPE, SH 2.CORNELIS NDAPAMERANG, ST 3.YOHANES NADE TUPEN |
KEPALA KEJASAAN NEGERI LEMBATA CQ. PENYIDIK KEJAKSAAN NEGERI LEMBATA | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 10 Des. 2021 | ||||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2021/PN Lbt | ||||||||
Tanggal Surat | Jumat, 10 Des. 2021 | ||||||||
Nomor Surat | --------- | ||||||||
Pemohon |
|
||||||||
Termohon |
|
||||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||||
Petitum Permohonan | Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN.-
Kepada Yth : KETUA PENGADILAN NEGERI LEMBATA
Di LEWOLEBA.-
---Yang bertandatangan dibawah ini:
Para Advokat pada Firma Hukum Akhmad Bumi & Partners (ABP), berkedudukan di Jl Bona Indah No. 15c BTN Kolhua, Kelurahan Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, baik bersama-sama maupun masing-masing sendiri, berdasar Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Desember 2021, dengan ini bertindak untuk dan atas nama serta mewakili:
Nama : MAHMUD REMPE, SH Tempat/Tgl Lahir : Kalikur, 31 Desember 1964 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Agama : Islam Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Lamahora, RT/RW 001/001 Kelurahan Lewoleba Timur, kecamatan Nubatukan, Kab Lembata.
Selanjutnya disebut : PEMOHON I.-
Nama : CORNELIS NDAPAMERANG, ST Tempat/Tgl Lahir : Menanga, 05 Februari 1973 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Kristen Alamat : Wangatoa Selatan RT/RW 021/008 Kelurahan Selandoro, kecamatan Nubatukan, Kab Lembata. Selanjutnya disebut : PEMOHON II.-
Nama : YOHANES NADE TUPEN Tempat/Tgl Lahir : Kupang, 10 November 1971 Pekerjaan : Wiraswasta/Selaku Kuasa Direktur CV Tekno Krajaba Agama : Kristen Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Perumahan KR Indah, Akelohe RT/RW 007/003 Kelurahan Lamahora, kecamatan Nubatukan, Kab Lembata.
Selanjutnya disebut : PEMOHON III.-
Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III selanjutnya mohon disebut; “PARA PEMOHON”.-
---Dengan ini mengajukan Permohonan Pemeriksaan Praperadilan atas penetapan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana Korupsi berupa penyimpangan dalam pekerjaan pembangunan gedung Kantor Kecamatan Buyasuri pada Kantor Kecamatan Buyasuri Tahun Anggaran 2014 dengan sangkaan Primair: Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Pasal 3 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pada diri PARA PEMOHON kepada:
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, Cq. JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI NUSA TENGGARA TIMUR, Cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI LEMBATA, Cq PENYIDIK KEJAKSAAN NEGERI LEMBATA beralamat di Jalan Trans Atadei Lusikawak Kel. Lewoleba Barat, Kec. Nubatukan, Kab. Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Selanjutnya disebut : TERMOHON.-
---Adapun ALASAN dan KEADAAN HUKUM di ajukan Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan diuraikan berikut ini :
Bahwa Indonesia adalah Negara hukum, salah satu asasnya adalah kepastian hukum. Di dalam asas kepastian hukum terdapat Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara Pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan. Konsep Negara Hukum yang dikenal dengan istilah “rechtsstaat” mencakup beberapa elemen penting, yang salah satunya yaitu: Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam tulisannya yang berjudul “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, menyatakan dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Bahwa Kejaksaan dalam melakukan tindakan penyidikan serta melakukan upaya paksa dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi tidak mempunyai dasar hukum yang jelas dan telah melanggar prinsip Negara hukum berupa asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Bahwa di dalam KUHAP, wewenang penyelidikan dan penyidikan berada di tangan lembaga Kepolisian, sedangkan penuntutan berada di tangan lembaga Kejaksaan. Dengan pemisahan lembaga Kepolisian sebagai penyidik, dan lembaga Kejaksaan sebagai penuntut umum, maka telah tercermin adanya suatu sistem pengawasan demi kepentingan hak-hak tersangka/terdakwa.
Bahwa Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono (Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989, hlm. 30) adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan.
Bahwa pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated criminal justice system adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Bahwa penyidik Pegawai Negeri Sipil yang juga diberi hak untuk melakukan penyidikan selain polisi. Jadi KUHAP memungkinkan adanya penyidik yang bukan polisi. Dalam berbagai UU kita dapat menjumpai aturan tentang penyidikan yang harus dilakukan penyidik selain polisi, dalam hal ini PPNS, antara lain: di bidang Perikanan sesuai UU No. 9 Tahun 1985. Di bidang Imigrasi sesuai UU No. 9 Tahun 1992. Di bidang HaKI sesuai UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Di bidang Pasar Modal sesuai UU No. 8 Tahun 1995. Di bidang Lingkungan sesuai UU No. 23 Tahun 1997. Di bidang Kepabeanan sesuai UU No. 30 Tahun 1997.
Bahwa dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI di bidang peradilan pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu. Oleh karena itu, Kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan. Hanya melakukan pemeriksaan tambahan (pemberkasan/pra penuntutan).
Bahwa fungsi dan Tugas Kejaksaan sebagai Sub-sistem Peradilan Pidana Hampir dalam semua yurisdiksi hukum di dunia, baik dalam tradisi Anglo Saxon, atau tradisi Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena memainkan peran penting dalam proses pembuatan dakwaan dan tuntutan.
Bahwa sekalipun polisi diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tapi Polisi tetap tergantung kepada Jaksa dan Polisi tetap memerlukan nasihat dan pengarahan Jaksa.
Bahwa dengan demikian, Jaksa memiliki kekuasaan untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak menuntut hampir semua perkara pidana. Pengawasan Terhadap Kejaksaan selaku penuntut umum menurut KUHAP sejak semula dengan ditinggalkannya HIR oleh KUHAP, pembentuk undang-undang telah dengan tegas memisahkan kekuasaan Penyidikan dan Penuntutan.
Bahwa dari uraian di atas diketahui bahwa sejak KUHAP dinyatakan mulai berlaku 31 Desember 1981, dibutuhkan koordinasi di bidang penyidikan antara polisi dan penuntut umum. Penuntut umum seringkali mengembalikan berkas penyidikan karena penyidikan yang dilakukan oleh polisi kurang lengkap. Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana.
Bahwa hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Jadi, meskipun fungsi dan wewenang penyidikan dan penuntut umum dibedakan secara tegas, tetapi dalam pelaksanaannya, KUHAP meletakkan dasar-dasar yang mewajibkan adanya mekanisme yang bersifat koordinatif yang saling mengawasi.
Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan pelanggaran hak asasi manusia, bersifat cacat formil karena tidak prosedur/melanggar KUHAP.
Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi suatu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut.
Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya dengan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan ditingkat penyidikan dan atau penuntutan dapat terjaga. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
Berdasar pada nilai itulah Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, agar hak-hak seseorang yang ditetapkan menjadi tersangka tidak dirugikan.
Bahwa sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang;
Bahwa selain itu yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP di antaranya adalah Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering tidak menjangkau fakta perlakuan penegak hukum yang kadang melanggar hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara, misalnya penetapan seseorang menjadi tersangka secara prematur dan dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki kewenangan berdasar Undang-undang.
Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan bertindak diluar kewenangan. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia.
|
||||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |